Aku sama sekali tidak menyangka, kalau Nenek akan terbaring tidak sadarkan diri seperti ini di ranjang rumah sakit.
Ilustrasi: rachelleannemiller.com
Wajahnya tampak pucat dan lemah. Sangat berbeda dengan Nenek yang kukenal selama ini. Diam-diam aku mengutuk diriku sendiri karena telah mengabaikan kata-katanya.
Berbagai perasaan campur aduk dalam dadaku. Kuhela napas panjang untuk menenangkan hati. Dan kejadian tadi pagi pun terbayang kembali di benakku.
“Rita!” suara Nenek yang keras dan tegas terdengar tepat pada saat aku hendak pergi les. “Bantu Nenek membersihkan debu-debu di atas lemari ini!”
Nah, mulai lagi, keluhku dalam hati. Aku tidak mengerti kenapa Nenek tidak bisa tinggal diam di rumah. Ada-ada saja yang dilakukannya.
Entah itu mengubah posisi barang-barang di rumah, memangkas rumput di halaman, membongkar dan menyusun kembali lemari pakaian atau lemari dapur, menisik baju-baju yang sudah tidak terpakai lagi, menyulam taplak meja, dan kalau tidak dilarang mungkin Nenek mau juga memperbaiki genteng rumah.
Tapi celakanya, saat melakukan semua ini Nenek suka melibatkan aku tanpa mempedulikan kesibukanku. Seperti sekarang ini, pas aku lagi siap-siap mau pergi les, eh, Nenek menyuruhku membantu membersihkan debu di atas lemari.
Apa tidak keki, tuh, aku dibuatnya. Mana aku sudah rapi begini. Kan bakal jadi belepotan lagi.
“Lain kali saja, Nek. Sekarang Rita mau pergi les!” tolakku.
“Kan cuma sebentar saja,” Nenek tak mau kalah.
“Kan cuma sebentar saja,” Nenek tak mau kalah.
“Tapi nanti baju Rita jadi kotor. Lain kali saja Rita bersihkan!” tolakku lagi. “Rita pergi dulu, Nek!” Lalu tanpa mempedulikan reaksi Nenek aku berjalan keluar.
Aku merasa sekali-sekali perlu juga menolak kemauan Nenek. Nenek perlu tahu bahwa aku juga punya kesibukan sendiri.
Dulu, aku memang bisa selalu menuruti perintahnya. Entah itu mengambil gunting, air minum, menata piring di meja makan, membeli kopi atau teh bubuk di warung, dan masih banyak yang lainnya.
Tapi sekarang tentu saja aku tidak bisa berbuat begitu terus. Sekarang aku sudah kelas V. Dengan demikian pelajaran, PR, kegiatan dan kursusku pun bertambah banyak.
Kalau aku selalu mengikuti perintah Nenek, kapan aku punya waktu lagi untuk melakukan keperluan sendiri.
Ilustrasi: blogspot
Oleh karena itu aku beranggapan sudah saatnya aku belajar melepaskan diri dari cengkeraman perintah-perintah Nenek.
Tapi siapa menyangka, ternyata Nenek nekat juga membersihkan lemari itu sendiri.
Dan entah karena kurang hati-hati atau memang karena sudah tua, ketika membersihkan bagian atas lemari itu Nenek jatuh terpeleset dari bangku tempatnya berpijak.
Akibatnya, ya, seperti sekarang ini. Nenek terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Dan sekarang aku merasa sangat bersalah melihat Nenek dalam keadaan demikian.
Nenek memang sangat menjengkelkan akhir-akhir ini. Tapi semua itu tidaklah berarti apa-apa jika dibandingkan dengan pengorbanannya untukku.
Sejak bayi aku telah dirawat oleh Nenek, karena waktu itu Ibu mengikuti Bapak yang dipindahtugaskan ke pedalaman Kalimantan Barat.
Nenek merasa kasihan jika aku ikut dibawa ke pedalaman yang terpencil itu. Dan menurut Ibu, Nenek pernah dirawat sakit karena keletihan mengasuhku.
Dan sekarang Nenek masuk rumah sakit lagi. Kali ini disebabkan oleh sikapku yang tinggi hati.
“Sudahlah, Rita. Jangan menangis lagi. Kamu pulang saja dulu. Besok kamu kan harus sekolah lagi,” kata Bapak ketika aku masih menunggu di samping ranjang Nenek.
Waktu itu jam dinding telah menunjukkan jam sembilan malam.
“Tidak, Rita tak mau pulang. Rita mau di sini saja besama Nenek!” jawabku.
“Tidak, Rita tak mau pulang. Rita mau di sini saja besama Nenek!” jawabku.
Entah karena ucapanku yang terlalu keras atau karena hasil dari obat yang diberikan dokter, Nenek mulai bergerak. Dengan riang kuraih tangan Nenek.
“Nek. Nenek!” Nenek membuka matanya dan menatap sekelilingnya. Kemudian berhenti pada wajahku.
“Nek, maafkan Rita, ya, Nek! Rita memang jahat!” kataku.
“Nek, maafkan Rita, ya, Nek! Rita memang jahat!” kataku.
Dan seperti tidak mendengar permintaan maafku atau memang Nenek tak mau memperhitungkan kesalahanku, Nenek justru berkata, “Rita, kamu harus beli kopi di warung. Persediaan kopi di rumah kita sudah habis. Dan besok kamu yang harus menyiapkan kopi untuk bapakmu!”
Aku tersenyum mendengar perkataan Nenek. Kebiasaan memerintahnya tidak hilang meskipun dalam keadaaan sakit.
“Siap, Nek!” ucapku riang sambil berjalan keluar. Karena aku percaya, tidak lama Nenek pasti akan sehat kembali.
Posting Komentar